Kamis, 13 November 2014

Kekerasan Aparat terhadap Pemuda di Pangkalpinang

Ada Skenario, dalam Kasus Tuatunu Berdarah
Studi Kasus 10 Pemuda Korban Salah Tangkap dan
Tindakan Kekerasan Anggota Polri

Presenden buruk terhadap penegakan hukum di bangka belitung menurut John Ganesha sudah sangat memprihatinkan. Seseorang, warga sipil dapat dengan mudah menjadi bermasalah dengan hukum. Hal ditunjukkannya dengan kejadian yang menimpa 10 pemuda tuatunu indah pangkalpinang yang menjadi korban salah tangkap dan tindakan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh anggota Polri ketika berusaha mencari tersangka pelaku pengrusakan mapolsek gerunggang – Pangkalpinang.
Bekas Luka pukulan tangan dengan Cincin Batu Akik
“sebut saja mulai dari razia kendaraan bermotor oleh Polri, yang terkesan sembunyi dibalik persimpangan, dari awal ide razia motor sudah diseting untuk menjerat seseorang. Dan perhatikan praktiknya dilapangan, tidak ada istilah harus ramah dalam bertugas, seluruh komplain mengarah kepada perilaku aparat sangat arogan dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menangkap, menahan dan membawa seseorang untuk diperiksa. Bayangkan kemudian kalau yang dicari Polri adalah terkait kasus pengrusakan mapolsek mereka sendiri, bisa saya prediksikan kejadian salah tangkap dan tindakan kekerasan Polri akan lebih dari itu” Penjelasan John Ganesha.
Dalam kasus Tuatunu Indah – Pangkalpinang, John Ganesha yang dikenal sebagai penggiat perlindungan HAM di Bangka setelah melakukan investigasi menemukan bahwa peristiwa tuatunu ini bukan sekedar pelanggaran HAM biasa menurutnya hal ini merupakan kejahatan HAM yang dilakukan oleh Negara. “Komnas Ham Republik Indonesia wajib memberi titik terang apakah ini pelanggaran HAM atau Kejahatan HAM, sebab saya menemukan adanya indikasi kuat semacam perintah yang dibuat oleh oknum Polri agar malam itu mereka berhasil menangkap lebih dari 1 orang yang dapat disebut sebagai tersangka pengrusakan mapolsek gerunggang telah tertangkap. ” Jelasnya.

Ketika ditanyakan motifnya, J.Ganesha menduga hal itu dilatarbelakangi oleh 2 hal yakni pertama adalah murni kelalaian atau kesalahan prosedur karena faktor emosional aparat saat itu, dan kedua adalah sebuah teori penanganan konflik yang dibuat agar kondisi shock therapy terjadi dimasyarakat akhirnya para tersangka akan menyerahkan diri. 
“Saya sudah mendengar banyak sharing pengalaman dari berbagai aktivis dari senegal, armenia, mesir, thailanf, vietnam soal Kasus Hak Asasi Manusia ini. Cara atau strategi berbasis militerisme ini dilakukan untuk menduduki psikologi masyarakat sipil.. tentu saja dengan teori kekerasan. , dan terbukti pada kasus pengrusakan mapolsek tuatunu, 10 korban salah tangkap ini membuat ada yang ketakutan, sembunyi dihutan dan menyerahkan diri. Maka, Komnas Ham wajib memberikan titik terang terhadap kasus ini apakah pelanggaran biasa atau berat.” Ungkap John Ganesha
Pangkalpinang, 12 Nov 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar